Pada suatu hari, ketika Soichiro sedang mengepel lantai, ia diajak majikannya untuk membantu di bengkel, karena hari itu bengkel sedang sibuk. Dan disinilah ia menunjukkan kemampuannya membetulkan mesin mobil Ford model T yang dikeluarkan pada tahun 1908. Dengan pengetahuannya mencuri-curi waktu untuk sekedar mengintip mesin mobil dan ilmu yang ia dapat dari buku, akhirnya ia berhasil membuat takjub para teknisi lain.
Pada umur 18 tahun, ia pergi ke kota Marioka untuk membetulkan mesin mobil. Karena masih muda, sampai-sampai penjemput keheranan.
“Tuan bengkel Art-nya sedang ke toilet ya?” tanya salah satu dari dua orang penjemput, karena sangat tidak percaya yang ia jemput hanyalah anak muda berumur belasan tahun.
“Sayalah yang anda maksud, terima kasih sudah menjemput saya” jawab Soichiro santai.
Hihihi.. lucu juga kalau melihat wajah kedua penjemput itu. Ketakjuban para teknisi tidak sampai disitu, saat ia mulai membongkar mobil pun, banyak yang tak percaya ia bisa memasangnya kembali. Tapi ternyata, ia berhasil membetulkan mobil tersebut. Dengan prestasinya tersebut, pada usia 22 tahun ia sudah menjadi kepala bengkel Art, dan dipercaya untuk membuka cabang di kota Hamamatsu.
Pada tahun 1928 Soichiro menjadi kepala bengkel Art cabang Hamamatsu. Awalnya bengkel tersebut hanya mempunyai 1 orang karyawan, tapi setelah 3 tahun berdiri, sudah mempunyai sekitar 50 orang karyawan. Selama kurun waktu tersebut, masalah perbaikan mobil diserahkan kepada anak buahnya yang terlebih dahulu diberikan pengetahuan tentang mesin. Sedangkan Soichiro hanya memeriksa hasil kerja anak buahnya, dan lebih berkonsentrasi pada peningkatan kreativitas dan pengetahuannya dalam bidang mesin.
Sebagai kepala bengkel, ia terkenal galak dan keras. Ia tak segan untuk memukul kepala anak buahnya dengan obeng atau kunci pas (seperti yang terlihat di buku, entah itu benar atau tidak). Dari seluruh karyawannya, terdapat dua golongan. Yang satu adalah yang bertahan dan yang melarikan diri. Dan biasanya, orang-orang yang bertahan adalah orang-orang yang menjadi teknisi handal.
Pada kurun waktu 3 tahun, Soichiro membuat veleg mobil yang terbuat dari besi. Di masa itu, veleg mobil terbuat dari kayu, sehingga jika digunakan dalam jangka waktu yang lama, poros veleg tersebut akan longgar.
Pada tahun 1933, ternyata Soichiro sudah mulai membuat mobil balap dengan tangannya sendiri, yang ia namakan Curtis. Nama Curtis diambil dari nama mesin yang ia gunakan, mesin pesawat jenis Curtis A1. Dengan mobil buatannya, ia pernah menjuarai balapan tetapi hanya sebagai navigator, bukan sebagai
pembalap.
Di tahun yang sama, Soichiro menikah dengan Sachi, seorang wanita berpendidikan. Kehadiran Sachi yang berpendidikan, bagi Soichiro yang tidak menjalani pendidikan formal menjadi sangat besar artinya. Sachi tidak hanya berperan sebagai istri, tapi juga guru yang mengajarkan tata krama dan ilmu-ilmu dasar. Tapi yang paling besar artinya adalah bagaimana Sachi mengerti tentang minat Soichiro pada bidang teknik.
Pada tahun 1934, Soichiro berencana membuat mobil sendiri. Bukan mengambil mesin mobil dari merek-merek terkenal di masa itu. Niat itu pun ia jalani dengan terlebih dahulu membuat ring piston. Di tahun 1935, tepat disamping bengkel Art ia membuat papan nama Pusat Penelitian Ring Piston Art.
Ring piston buatan Soichiro selalu gagal, karena ia sama sekali tak mengerti masalah pencampuran logam. Karena ring piston buatannya selalu patah atau menggores dinding slinder. Akhirnya ia datang ke Sekolah Tinggi Hamamatsu jurusan mesin, dan diberitahu bahwa ada campuran lain yang diperlukan untuk membuat ring piston, diantaranya silikon. Dengan informasi yang ia terima, akhirnya ia punya tekad yang bulat untuk melanjutkan sekolah, walaupun saat itu Soichiro sudah berumur 28 tahun.
Akhirnya 3 tahun kemudian, tepatnya tanggal 20 November 1937 ring piston berhasil dibuatnya. Dan pada tahun 1938 ia mendirikan pabrik pembuatan ring piston bernama Tokai Seiki. Sedangkan bengkel yang ia kepalai diserahkan kepada anak buahnya untuk dikelola.
Bengkel yang ia dirikan akhirnya berproduksi secara resmi pada tahun 1941 setelah ada investor dari Toyota. Pada tahun 1945, tepatnya setelah perang dunia ke-2, Jepang menjadi negara rendah karena kalah perang. Dan hidup Soichiro menjadi terlunta-lunta. Ia tak mengerjakan pekerjaan apapun saat itu. Tidak ada niat lagi untuk membangun pabrik, bahkan ia hanya ingin belajar bermain suling saat itu.
Di masa setelah perang, dimana benda-benda masih sangat langka, justru industri tekstil berkembang sangat pesat saat itu. Kabarnya, orang-orang yang mempunyai mesin tenun, sekali menggerakkan mesinnya, ia bisa mendapatkan 10 ribu yen. Dan saat itu Soichiro berfikir bagaimana membuat mesin tenun yang lebih canggih dari yang ada saat itu. Ia pun mendirikan pabrik pembuatan mesin tenun yang akhirnya terhenti karena kurang modal.
Saat pabrik yang ia buat terhenti, ada seorang teman yang menawarkan mesin pemancar radio bekas kegiatan perang yang ternyata berjumlah 500 buah. Dan Soichiro diminta untuk memanfaatkan mesin tersebut.
Setelah melihat sepeda, ia pun berniat membuat sepeda motor dengan mesin pemancar radio. Cara mengendarai sepeda motor saat itu juga sangat berlainan dengan yang ada sekarang. Pertama-tama mesih harus dipanaskan dengan api, dan digenjot minimal 30 menit, baru mesin bisa digunakan. Tapi tetap saja laku keras, dan kapasitas produksi saat itu 1 unit lebih dalam 1 hari. Dalam setahun saja, 500 buah pemancar radio habis.
Dengan prestasi tersebut, Soichiro terus mengembangkan mesin sepeda motor, dan berhasi menciptakan sepeda motor yang dinamakan Dream D, setelah membuat mesin A, B, dan C. Motor buatan Soichiro ini adalah mesin 2 tak dengan 98 cc dan kecepatan maksimum hanya 50 km/jam.
Bersamaan dengan akan dipasarkannya Dream D, seorang marketer hebat bernama Fujisawa ikut menggabungkan diri dengan Soichiro dan membangun pabrik pembuatan sepeda motor. Kemudian selanjutnya, kehadiran Fujisawa membawa perubahan besar terhadap perusahaan bernama Honda.
Sebelum Dream D dipasarkan, Fujisawa menguju coba motor tersebut kepada masyarakat. Dan diketahui, karena Dream D adalah motor 2 tak, maka kebisingan yang dibuat menjadi masalah. Dan dengan demikian, Fujisawa memaksa Soichiro untuk membuat mesin 4 tak yang miskin suara kebisingan. Akhirnya mesin 4 tak dibuat dan berhasil menjadi nomor satu di Jepang. Dengan mesin 4 tak ini, kecepatan maksimum adalah 75 km/jam.